SAMPANG, MADURA – Musim penghujan yang melanda Kabupaten Sampang, khususnya di Kecamatan Karang Penang, menjadi tantangan besar bagi para pengrajin genteng. Hujan yang hampir turun setiap hari selama beberapa pekan terakhir membuat proses produksi genteng tradisional terganggu. Para pengrajin harus menghadapi berbagai kendala, mulai dari waktu pengeringan yang jauh lebih lama hingga peningkatan biaya operasional.
Lamri, seorang pengrajin genteng di Desa Karang Penang, mengungkapkan bahwa selama musim kemarau, proses pengeringan genteng biasanya hanya memakan waktu 2-3 hari. Namun, saat musim hujan, genteng yang baru dibuat membutuhkan waktu hingga lebih dari satu minggu untuk benar-benar kering.
“Genteng yang belum kering tidak bisa dibakar. Jadi, kami harus menunggu hingga benar-benar kering, yang kadang bisa memakan waktu lebih dari seminggu. Semuanya tergantung pada cuaca,” kata Lamri, Senin (6/1/2025).
Lamri menambahkan bahwa keterlambatan ini memengaruhi keseluruhan proses produksi. Genteng yang terlalu lama basah menjadi lebih rentan terhadap kerusakan, seperti retak atau berubah bentuk. Kerusakan ini tentu saja merugikan para pengrajin, terutama karena bahan yang digunakan tidak bisa diperbaiki.
Musim Hujan dan Dampaknya pada Kualitas Genteng
Musim penghujan memang menjadi momok bagi para pengrajin genteng. Proses pengeringan yang lama membuat risiko kerusakan pada genteng semakin tinggi. Genteng yang terlalu lama basah dapat mengalami deformasi, retakan, atau bahkan gagal memenuhi standar kualitas.
“Kalau genteng retak atau berubah bentuk, kami tidak bisa menjualnya. Ini jelas merugikan, apalagi jika bahan sudah terpakai banyak,” lanjut Lamri.
Selain itu, proses pengeringan yang terganggu menyebabkan produksi menjadi lebih sedikit. Jika biasanya dalam satu minggu pengrajin bisa menyelesaikan beberapa kali pembakaran genteng, saat musim hujan mereka hanya bisa melakukan satu kali pembakaran.
Biaya Operasional yang Meningkat Selama Musim Hujan
Kendala lain yang dirasakan oleh pengrajin adalah meningkatnya biaya operasional. Faiz, pengrajin genteng lainnya, menyebutkan bahwa pada musim hujan mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk tenaga kerja. Proses pengeringan yang lebih lama membuat para pekerja harus menjemur genteng berulang kali agar hasilnya tetap maksimal.
“Saat musim hujan, kami tidak bisa selesai hanya dengan satu kali penjemuran. Genteng harus sering dibalik dan dipindahkan agar tetap terkena angin. Ini membuat biaya untuk pekerja jadi lebih besar,” kata Faiz.
Meningkatnya biaya ini menjadi beban tambahan bagi para pengrajin yang pendapatannya sudah menurun akibat jumlah produksi yang berkurang.
Harapan Pengrajin Genteng di Sampang
Para pengrajin berharap adanya solusi untuk membantu mereka menghadapi tantangan selama musim hujan. Salah satu solusi yang diharapkan adalah pembangunan tempat pengeringan genteng yang lebih modern dan tahan terhadap hujan. Teknologi seperti ruang pengeringan berbasis energi surya atau sistem pengeringan buatan dengan ventilasi yang baik dapat membantu para pengrajin meningkatkan efisiensi produksi.
Selain itu, mereka juga berharap adanya subsidi atau bantuan dari pemerintah untuk menekan biaya operasional. Dengan bantuan ini, para pengrajin dapat terus melanjutkan produksi tanpa harus mengalami kerugian besar.
Usaha Tradisional yang Perlu Dukungan
Produksi genteng di Sampang merupakan salah satu usaha tradisional yang masih bertahan hingga saat ini. Namun, tanpa inovasi dan dukungan, usaha ini bisa terancam oleh perubahan cuaca dan meningkatnya biaya produksi.
Musim penghujan menjadi pengingat bahwa tantangan bagi pengrajin tradisional tidak hanya berasal dari kompetisi pasar tetapi juga dari kondisi alam yang tidak menentu. Dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk menjaga keberlangsungan usaha ini.
Sumber: madura.tribunnews.com